Lekang – Kota Khatulistiwa

Udara yang menerpa wajah ini tak lagi seperti 16 tahun silam. Langit senja sekarang sepi, tatkala dahulu senantiasa dihiasi burung-burung mengangkasa dalam formasi-formasi unik. Enam belas tahun yang lalu, saya pertama kalinya melihat meteor menghantam atmosfer bumi, betapa banyak kenangan di masa silam yang kini sudah jauh berbeda.
IMG_20170729_175021.jpg

Kini asap kendaraan senantiasa berbaur bersama udara. Pohon-pohon telah banyak ditebang. Langit diselubungi awan, asap dan rindu. Rindu akan ke-asri-annya yang mulai pudar bersama pembangunan-pembangunan.

Alhamdulillah, meski dengan demikian, Allah masih memberikan udara yang dapat dihirup dan pada kondisi yang cerah, langit biru dapat terlihat, atas Kehendak Allah. Semoga kita selalu menjadi hamba yang selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah.

Saya hidup di sebuah kota yang dilintasi garis khayal khatulistiwa, yang dulunya tak begitu dikenal secara umum. Saya masih ingat, ketika saya berada di Jawa dan menyebutkan kampung halaman saya, mereka mengira bahwa kampung halaman saya adalah hutan belantara. Alhamdulillah sejak saya kecil, setahu saya kampung saya ini sudah terbentuk peradaban meskipun infrastruktur tidak semaju beberapa kota di Pulau Jawa. Alhamdulillah, kampung saya ini dipenuhi orang-orang yang ramah, meskipun ada sebagian kecil yang di luar itu.

Kampung saya ini cukup unik, keadaan musim nya tidak seperti pada wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Tidak ada batas yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Hampir sepanjang waktu adalah musim pancaroba. Musim yang menjadi kontras di kota ini terbagi menjadi lebih dari 2 musim, yaitu musim durian, musim langsat, musim rambutan, musim jeruk dan sebagainya. Alhamdulillah kami diberikan nikmat oleh Allah untuk dapat menikmati buah-buahan dengan mudah dan relatif murah di tempat ini.

Namun, satu di antara musim-musim yang menjadi momok di kampung ini adalah musim asap. Bertanah gambut, industri perkebunan monokultur juga mulai gencar (Perkebunan Sawit yang berlebihan), menjadi beberapa di antara faktor yang mempengaruhi musim asap. Apabila musim asap tiba, masih ada orang-orang yang cukup peduli dengan sesamanya, para pemuda-pemuda, mahasiswa, organisasi-organisasi mulai gencar membagikan masker kepada masyarakat. Dan hingga saat terakhir beberapa waktu lalu, udara di kampung kami sempat mencapai level sangat berbahaya sehingga sekolah diliburkan. Hal tersebut, bukannya tidak berdampak, angka kejadian infeksi saluran napas, penyakit saluran napas, penyakit mata, stres psikis dan dampak negatif lainnya yang terkait menjadi meningkat. Bersamaan dengan itu, masyarakat dan komunitas-komunitas sosial dan kesehatan masih peduli untuk menjadi satu di antara solusi bagi masyarakat atas Kehendak Allah. Begini lah sekelumit potret keadaan kampung halaman saya yang sudah banyak berubah dibandingkan 16 tahun silam.

Dahulu, saya masih bisa menikmati pemandangan sawah sembari bersepeda bersama teman-teman, bermain layangan, bermain sepak bola, dan menikmati masa kecil. Kini sudah berbeda, teman-teman kecil saya sudah tumbuh besar, berjakun, ada yang masih sering menyapa namun sebagian besar sudah tak diketahui keberadaannya, sudah menempuh jalan hidup masing-masing.

Pendaran merah jambu di langit sore, saat saya memulai menulis secarik cerita ini dari beberapa hari yang lalu, memercikan api kenangan yang membuat memori ini melayang jauh ke masa kecil. Semoga semakin dewasa, kita semakin sadar bahwa suatu saat kita akan kembali kepada Allah, sehingga bertakwalah kepada Allah. Kesempurnaan datang dari Allah, Alhamdulillah, dan kekurangan datang dari diri saya sendiri sehingga saya mohon untuk dimaafkan.

Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri, apakah memori yang mengikat kenangan-kenangan tersebut suatu saat akan terlepas dan terlupa? Sementara diri ini sering lupa dan khilaf. Toh, tempat yang saya duduki sembari mengetik tulisan di detik ini adalah fana. Pada saat kecil, saya pernah membuat layangan, saya sudah merancang dan membuatnya dengan sebaik mungkin dan penuh perhitungan, namun tidak berapa lama setelah saya mencoba layangan buatan sendiri tersebut, layangannya putus dan hilang. Hal itu membuat saya sangat sedih saat itu, dan akhirnya saya menyadari suatu pelajaran bahwa tidak ada (makhluk) yang kekal di dunia ini sebagaimanapun kita berhati-hati. Semuanya atas Kehendak Allah.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah-Nya.

Dari sekelumit kisah tersebut, apakah ada yang bisa mengetahui di mana kampung halaman yang saya ceritakan? Boleh dijawab di kolom komentar oleh teman2 pejalan.

3 thoughts on “Lekang – Kota Khatulistiwa

  1. Di kota Pontianak? Semoga majunya sistem pembangunan dikota ini bisa selaras dengan pengembangan keasrian dan tata lahannya utk menjaga ekosistem di pulau yg dikatakan adalah paru2 dunia ini ya…. pemandangan alami laut,tanah,pohon, gunung,langit yg indah akan terasa menenangkan dan menyeimbangkan hiruk pikuk moderenisasi krn membuat kita lebih banyak bersyukur dg ciptaan Nya.

    Like

    1. Alhamdulillah, betul Bu Shanty. Yang saya ceritakan latar belakangnya adalah kota Pontianak dan sekitarnya.

      Aamiin. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Jazakillah khayr

      Like

      1. Alhamdulillah…yeayy…makasih ya pak

        Aamiin Allahumma Aamiin
        Masya Allah..suka nih tulisan2 pak dokter,bagus2 dan kuat karakternya jdi ada ciri khasnya gitu…semangat terus ya menulisnya biar bisa memberikan inspirasi utk banyak orang 🙂

        Like

Leave a comment