KIPI

Dalam beberapa waktu terakhir, saya sering melihat postingan atau tulisan di media sosial terkait vaksin baik yang berupa berita benar maupun hoax. Saya rasa teman-teman pembaca setia catatan pinggir adalah masyarakat yang cerdas, tidak semua berita kita telan mentah-mentah, harus di-filter dengan ilmu pengetahuan yang cukup berdasarkan sumber atau referensi yang valid (mulai ribet ya bahasanya). Karena sudah banyak edukasi tentang vaksin dan manfaatnya, maka saya tidak menuliskan panjang lebar terkait vaksin nya, smart people (sambil naikin alis sebelah ala Deddy) teman-teman sebagian besar mungkin sudah pernah membaca atau bagi yang belum dapat membaca tulisan-tulisan valid dari ahlinya yang telah beredar luas sampai tumpeh-tumpeh di berbagai media sosial di sana.

Padahal ini daun, kok banyak yang bilang ini bunga ya. Bilangnya beli bunga, eh ternyata beli daun. (kok saya jadi curhat di kolom deskripsi gambar, padahal cuma pemanis)

Judul artikel ini adalah KIPI, bukan “kipi-kipi”, bukan juga saudara dari “kupu” nya “kupu-kupu”. KIPI adalah singkatan dari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (serious mode on) kalau kupu jadinya kejadian ukutan pasca umunisasi. Sejauh pemantauan saya, relatif jarang ada yang membahas terkait KIPI (penilaian subjektif pribadi). Padahal KIPI ini mungkin terjadi setelah proses imunisasi atau vaksinasi. Biasanya masyarakat yang belum begitu paham keberadaan KIPI yang membuntuti imunisasi akan merasa bingung dalam menyikapi keadaan tersebut, yang dapat berupa nyeri di area suntikan, demam, hingga tidak sadarkan diri. Akibatnya akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan terhadap upaya vaksin untuk mengentaskan penyakit karena kurangnya pengetahuan. Sampai di sini apakah teman-teman sudah mulai penasaran apa itu KIPI? Yuk kita simak setelah pesan-pesan berikut ini!

Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, penggunaan vaksin juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga meningkat. Hal yang penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan ialah: Apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan? Ataukah bersamaan dengan penyakit lain yang telah diderita sebelum pemberian vaksin (koinsidensi)? Cukup sering hal ini tidak dapat ditentukan dengan tepat, apakah betulan berhubungan dengan vaksin atau memang ada penyakit atau hal lain yang kebetulan bersamaan dengan pemberian vaksin sehingga oleh WHO digolongkan dalam kelompok adverse events following immunisation (AEFI) atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).

KIPI adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, di antaranya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang efektif.

Pemberian imunisasi akan menurunkan insidens penyakit. Satu di antara faktanya adalah musnahnya penyakit cacar (variola) dari muka bumi sejak tahun 1980 sampai sekarang yang merupakan contoh keberhasilan imunisasi terhadap kejadian penyakit cacar. Keberhasilan vaksinasi tersebut kemudian diikuti oleh pemakaian vaksin lain. Namun, seiring perjalanan kenangan waktu, terdapat perkembangan persepsi masyarakat sehubungan dengan reaksi yang tidak diinginkan akibat vaksinasi sehingga menyebabkan munculnya kembali penyakit dalam bentuk kejadian luar biasa (KLB).

Kembali lagi ke KIPI, jadi sebetulnya tidak semua kejadian KIPI yang diduga itu benar. Sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu; bagaimana sifat kelainan tersebut, lokal atau sistemik; bagaimana derajat kesakitan resipien, apakah memerlukan perawatan, apakah menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian; apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti; dan akhirnya apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan pemberian. (memang agak mendetail, namun ini diperlukan untuk ketepatan penanganan selanjutnya). Berdasarkan data tersebut, maka KIPI diklasifikasikan menjadi induksi vaksin, provokasi vaksin, kesalahan program, atau koinsidensi.

Induksi vaksin

Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien (penerima vaksin). Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral.

Provokasi vaksin

Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai faktor resiko atau riwayat kejang sebelumnya.

Kesalahan program

Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi indurasi (semacam benjolan) pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuscular (ke dalam otot) diberikan secara subkutan (di bawah kulit)

Koinsidensi

KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis (membiru) setelah diimunisasi.

KIPI akan tampak setelah pemberian vaksin secara luas. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin diketahui melalui fase uji klinis, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Pada uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan, sedangkan fase selanjutnya dilakukan pada manusia. Fase 2 dan 3 untuk mengetahui seberapa jauh imunogenisitas dan keamanan (reactogenicity and safety) vaksin yang dilakukan pada jumlah yang terbatas. Dengan jumlah dosis yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk menilai jumlah KIPI diperlukan penelitian uji klinis dalam jumlah sampel (orang, dosis vaksin) yang besar yang dikenal sebagai post marketing surveilance (PMS).

Contoh gejala KIPI

PMS bertujuan untuk memantau dan mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat. Data PMS dapat membantu program apabila semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan dan segera diselesaikan. Apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi rumor di masyarakat mengenai efek samping vaksin dengan segala akibatnya.

Jadi, apa yang harus kita lakukan apabila mendapati KIPI ini? Pertama berdoa, kedua berusaha, usahanya bagaimana?

Jadi, tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi. Dalam waktu 24 jam setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh masyarakat ataupun petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan. Pelacakan perlu dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan tersebut benar. Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus, data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana sikap masyarakat saat menghadapi masalah tersebut. Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain yang sama, terutama yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin yang sama. Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain yang bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga menyebabkan KIPI harus disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada umumnya (perhatikan cold chain).

Jadi yang perlu kita lakukan sebagai masyarakat umum apabila menemukan KIPI adalah dengan melaporkan kejadian tersebut atau membawa pasien (terutama dengan gejala berat) ke Puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat, apabila terjadi gejala berat dapat dibawa ke IGD untuk dilakukan penatalaksanaan dan proses tindak lanjut KIPI selanjutnya.

Saya harap artikel singkat ini dapat memberikan gambaran tentang KIPI yang berkaitan dengan imunisasi atau vaksinasi sehingga teman-teman pembaca tidak lagi bingung.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Sumber:

Hadinegoro, SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri; 2(1); 2000.

Leave a comment